Jumat, 03 Desember 2010

Tindakan Strategi HB IX dan PA VIII di Awal Kemerdekaan RI

Pada tanggal 17 Agustus 1945 sekitar jam 12.00 berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disiarkan melalui Berita Domei Jakarta, ternyata juga diterima oleh Kantor Berita Domei Yogyakarta yang pada saat itu menempati lantai atas Gedung Perpustakaan Negara di Jalan Malioboro.
Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945 mengirim kawat kepada Presiden Soekamo dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang pada prinsipnya mengucapkan selamat atas berdirinya Negara Re­publik Indonesia dan selamat atas terpilihnya mereka berdua sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Barangkali atas latar belakang inilah Presiden Sukarno menandatangani Piagam Kedudukan pada tanggal 19 Agustus 1945 yang kemudian diserahkan (pada tanggal 6 September 1945) sebagai respon amanat dwi tunggal  (Sri Sultan dan Pakualam) pada tanggal 5 September 1945.

Pada tanggal 20 Agustus 1945 itu Sri Sultan kembali mengirim telegram dalam kedudukannya sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta ditujukan kepada Presiden Soekamo dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Dalam telegram itu Sultan menegaskan sanggup berdiri di belakang kepemimpinan Soekarno dan Moh. Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden RI. Yogyakarta Hadiningrat berdiri di belakang Republik dan Sri Sultan akan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia. Tindakan dan pernyataan Sri Sultan melalui telegram yang ditujukan kepada Presiden dan Wakil Presiden, baik yang tertanggal 19 maupun 20 Agustus 1945 itu juga diikuti oleh Sri Paku Alam VIII[1]. Sebelumnya, antara Sri Sultan dan Paku Alam sudah seiring sejalan dalam menyambut Proklamasi Kemer­dekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Uraian di atas menunjukkan bahwa di Yogyakarta dalam menyambut berita proklamasi kemerdekaan RI, baik pemimpin maupun rakyatnya sangat kompak. Dapat dilihat bagaimana sikap kedua pemimpin daerah Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII secara cepat dan tegas, ti­dak ragu-ragu bertekad untuk berdiri di belakang Republik Indonesia dan mem­bela keutuhan Negara Republik Indonesia yang baru saja lahir. Sri Sultan juga dengan sikap konsisten, penuh semangat mengajak segenap lapisan masyarakat di wilayah Yogyakarta untuk membina dan meningkatkan persatuan dan ke­satuan serta siap berjuang memelihara kemerdekaan Negara Republik Indone­sia.
Beberapa minggu kemudian, di Yogyakarta atas anjuran pemerintah pusat dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Yogyakarta. Dengan memperhatikan aspirasi rakyat, maka Sri Sultan dan Sri Paku Alam atas persetujuan komite mengeluarkan amanat tanggal 5 September 1945. Adapun isi pokok amanat tersebut adalah pernyataan sebagai daerah istimewa dan hubungan langsung kepada Presiden RI.
Dalam amanat kedua pemimpin tersebut, dengan tegas dinyatakan baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Yang dimaksud Daerah Is­timewa ini adalah seperti yang ditentukan dalam pasal 18 UUD 1945. Dengan dikeluarkannya pernyataan ini, maka rakyat tidak ragu-ragu lagi, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman se­cara tegas memihak kepada Republik Indonesia, tidak mengharap-kan atau memikirkan kembali akan datangnya penjajah Belanda. Keraguan rakyat terjawab, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman dengan pemimpinnya tidak bersikap me­ngambang, ragu-ragu dan menunggu perkembangan yang akan datang, tetapi lebih tegas dan positif memihak pada Republik Indonesia. Dalam amanat itu juga ditegaskan bahwa segala kekuasaan dalam negeri Kasultanan dan Paku­alaman masih dipegang sendiri oleh Sultan dan Sri Paku Alam. Untuk segala se­suatunya baik Sri Sultan maupun Paku Alam tidak mau diperintah oleh siapapun kecuali oleh Presiden Republik Indonesia. Sri Sultan dan Paku Alam tidak mau diperintah atau dipengaruhi oleh Jepang atau Belanda dan sean­dainya kaum penjajah akan berhubungan dengan Sri Sultan dan Sri Paku Alam tidak dapat langsung, tetapi harus melalui Presiden RI. Kenyataan ini sudah tentu semakin memperkuat kedudukan Republik Indonesia, sebab dengan adanya pernyataan Sultan dan Paku Alam itu dapat dihindarkan praktek-praktek politik memecah belah dari kaum penjajah, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman tidak dapat lagi diperalat atau diadu domba dengan Republik Indo­nesia yang baru berdiri itu.[2]
Kedua amanat yang disampaikan oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam tersebut merupakan tindakan terobosan yang berani dan sangat strategis bagi per­juangan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dalam hal ini mengandung nilai kesetiaan dan persatuan untuk menopang tegaknya Negara Republik Indonesia. Bahkan amanat tersebut juga telah berhasil mengobarkan dan membakar se­mangat perjuangan rakyat yang saat itu memang sangat dibutuhkan untuk mem­pertahankan kelangsungan kemerdekaan Indonesia, mengingat kekuatan Jepang boleh dikatakan masih kuat dengan segala persenjataannya. Dengan demikian terjadilah harmonisasi antara kehendak rakyat, baik rakyat Yogyakarta pada khususnya dan rakyat seluruh Indonesia pada umumnya, sesuai dengan sikap para pemimpin, baik pemimpin pusat yakni Presiden Soekarno dan Wakil Presi­den Moh. Hatta maupun sikap Sri Sultan dan Sri Paku Alam di Yogyakarta.
Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII itu ternyata mendapat sambutan positif dari pemerintah pusat di Jakarta, terbukti pada keesokan harinya, tanggal 6 September 1945, dua utusan dari pemerintah datang di Yogyakarta untuk menyampaikan "Piagam Kedudukan/Penetapan" mengenai kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno sendiri. Yang menarik dari Piagam Penetapan ini sebagaimana telah dikemukakan di depan adalah piagam tersebut sudah ditan­datangani oleh Presiden pada tanggal 19 Agustus 1945. Ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat sangat respek terhadap tindakan dari Sri Sultan dan Sri Paku Alam.
Pada tanggal 30 Oktober 1945 Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengeluarkan amanat yang ditandatangani bersama, di mana selanjutnya amanat-amanat yang dikeluarkan selalu ditandatangani ber­sama-sama. Ini menunjukkan adanya persatuan di antara kedua pemimpin itu. Amanat tersebut, dapat juga dikatakan, di sam­ping tanda persatuan juga merupakan manifestasi dari kehendak Sri Sultan dan Sri Paku Alam untuk menyerahkan kekuasaan itu kepada rakyat, agar jalannya pemerintahan di Yogyakarta dapat selaras dengan dasar negara R.I., UUD 1945. Karena itu dalam amanat tersebut secara tegas dinyatakan bahwa Badan Pe­kerja KNI Daerah Yogyakarta yang dapat dianggap sebagai wakil rakyat karena diserahi tugas untuk menjadi Badan Legistlatif. Hal ini dapat diterjemahkan bah­wa di Yogayakarta tercipta suatu kekuasaan dari rakyat untuk rakyat, tercipta ke­hidupan yang demokratis. Keadaan semacam ini sangat penting sebagai modal bagi daerah dalam rangka menopang kelestarian hidup Negara Kesatuan Re­publik Indonesia.
Dengan amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam tanggal 30 Oktober itu juga menunjukkan keterpaduan dan adanya persatuan antara Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai Badan Legislatif yang ikut membantu haluan jalan­nya pemerintahan daerah dengan Sri Sultan dan Sri Paku Alam sebagai pen­guasa daerah. Karena itu dalam soal pemerintahan di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Sri Sultan , Sri Paku Alam dan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Dengan demikian sejak dikeluarkannya amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam tanggal 30 Oktober, untuk amana- amanat berikutnya selalu ditanda tangani bersama-sama antara Sri Sultan, Sri Paku Alam dan Ketua KNI Daerah Yogyakarta.
Sejak dikeluarkannya amanat tertanggal 30 Oktober 1945 tersebut, dalam prakteknya Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman telah dipersatukan dan menjelma menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Sultan dan Sri Paku Alam telah menjadi satu dalam segala hal dan tindakannya, untuk Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman, mewakili rakyat seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini menjadi semakin kokoh setelah dikeluarkannya Makiumat No.18 tahun 1946 yang mengatur tentang Pembentukan DPR-DPR Daerah di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam maklumat itu disebutkan Kasul­tanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman hanya dengan perkataan Daerah Yogyakarta. Dengan demikian, terwujudlah Daerah Yogyakarta yang satu yang terkenal dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebutan "Daerah Is­timewa Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman)" sudah digunakan mulai Ma­klumat Nomor 6 tanggal 12 Mei 1948. Secara tegas sebutan "Daerah Istimewa Yogyakarta" mulai digunakan pada Maklumat Nomor 10 tanggal 2 September 1948 dan seterusnya. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terbentuk sesuai de­ngan isi pasal 18 UUD 1945 itu akhirnya dilegalisasi oleh Undang-undang No­mor 3 1950 yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang Pokok R.I. Nomor 22 Tahun 1948.
Peranan historis yang istimewa dari DIY, yang relatif tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain sebenarnya juga merupakan keistimewaan tersendiri di samping hak asal-usul yang dimaksudkan dalam UUD 1945. Dalam kaitan inilah yang mendorong dikeluarkannya Keputusan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4/K/DPRD/1980 tentang Sebutan dan Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

[1] Atmakusumah (Peny.), “Tahta Untuk Rakyat”, Gramedia, Jakarta, 1982. hal. 64.
[2] KPH Soedarisman Poerwokoesoemo, “Daerah Istimewa Yogyakarta”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1984, hal. 17.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar