Selasa, 14 Desember 2010

NSPK Bukan Merupakan Hal yang Baru

Benarkah NSPK sebelumnya tidak ada? NSPK sebelumnya sudah ada Pada masa dahulu ada istilah juklak dan juknis, hal itu merupakan wujud dari NSPK yang bisa dituangkan dalam peraturan menteri, keputusan menteri, keputusan dirjen atau bahkan suratmenteri. Bila merunut PP 38/2007, maka NSPK yang merupakan pedoman pelaksanaan dari urusan pemerintahan  disusun dan dituangkan dalam peraturan menteri. Istilah NSPK ini hanya dimaksudkan untuk menyeragamkan atau memudahkan istilah pada waktu penyusunan PP 38/2007 atau peraturan pelaksanaan itu sendiri, sehingga tidak membingungkan daerah.
Keberadaan NSPK ini telah ada sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari amanat pengaturan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000, yaitu dalam pasal-pasalnya dalam tiap bidang kewenangan (dulu istilahnya kewenangan, setelah Amandemen UUD 1945 disebut urusan pemerintahan) selalu ada kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Provinsi untuk menetapkan pedoman dan standar. Hal ini bisa dilihat Pasal berikut.
Pasal 6
Penjabaran teknis mengenai kewenangan Pemerintah yang meliputi kebijakan termasuk mekanisme ketatalaksanaan, standar dan kriteria dilakukan oleh pimpinan Departemen/Lembaga Non Departemen yang bersangkutan setelah dikonsultasikan dengan Menteri.
Pasal 9
(1) Terhadap kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini yang belum ada ketentuan mengenai kebijakan, standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman dari Pemerintah, dalam pelaksanaannya Pemerintah Daerah menunggu diterbitkannya ketentuan tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 9 disebutkan bahwa Peraturan Daerah tentang pelaksanaan salah satu kewenangan diterbitkan setelah dikeluarkannya kebijakan seperti standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman dari Pemerintah. Dalam PP 25/2000 dapat diidentifikasi dalam kewenangannya Pemerintah (pusat) berwenangan untuk menetapkan standar/norma pedoman/kebijaksanaan sebanyak 130 kewenangan, sedangkan provinsi sebanyak 29 kewenangan.

Kesimpulan atas argumentasi yuridis di atas, jelas dan tegas bahwa istilah norma, standar, prosedur dan kriteria atau disingkat dengan NSPK bukanlah hal baru dan telah ada sebelum PP 38 Tahun 2007. Oleh karena itu, dengan mendasarkan argumentasi di atas, maka urusan-urusan terkait dengan NSPK (baca: peraturan pelaksanaan/teknis) dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu urusan-urusan yang telah mempunyai NSPK dan sesuai PP Nomor 38/2007, sudah ada NSPK namun tidak sesuai sehingga perlu penyesuaian/revisi, dan urusan yang belum mempunyai NSPK. 
Demikian pula, NSPK bukanlah dalam bentuk satu buku berjudul NSPK, namun dalam satu bidang urusan dimungkinkan akan terdapat lebih dari satu bahkan beberapa peraturan menteri sebagai pedoman pelaksanaan urusan. Oleh karena itu, masa waktu 2 tahun yang diamanatkan PP 28/2007 mungkin tidak akan terbit keseluruhan peraturan menteri tentang pelaksanaan/teknis pelaksanaan urusan (atau NSPK) tersebut. Dan hal ini terbukti.
Beberapa peraturan menteri yang telah ada dan merupakan pedoman pelaksanaan urusan atau yang merupakan NSPK sebagaimana diamanatkan dalam PP 38/2007, misal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah, Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan, Keputusan   Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/SK/X/2008  tentang Pedoman Teknis Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Peraturan dari Lembaga Pemerintah Non kementerian, misal Peraturan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor : 154/HK-010/B5/2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Informasi Data Mikro Kependudukan dan Keluarga.
Selengkapnya...

Senin, 06 Desember 2010

Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Urusan Pemerintahan


Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria atau lebih dikenal dengan singkatan NSPK menjadi hal yang sering disebut setelah pemberlakuaan PP 38/2007. Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
 Keberadaan NSPK ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan 11 sebagai berikut.

Pasal 9
(1)       Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.
Pasal 11
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Jadi NSPK ini hukumnya wajib bagi Departemen/LPND (sekarang telah diubah istilahnya menjadi kementerian berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara  dan Perpres 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara) sebab dijadikan pedoman bagi daerah. Karena sifatnya pedoman (wajib), maka pertama semestinya pedoman tersebut benar-benar menjadi pegangan daerah dalam memperjelas dan mempertegas urusan-urusan yang menjadi kewenangan daerah (provinsi maupun kabupaten/kota). Kedua, pedoman (NSPK) tersebut harus dapat segera ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) diberikan jangka waktu 2 tahun sejak diterbitkannya PP 38/2007 (9 Juli 2007). Ketiga, pedoman (NSPK) tersebut merupakan sarana pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
NSPK yang dituangkan dalam peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian tersebut dapat berisi pengaturan terhadap satu atau beberapa rincian urusan sebagaimana diatur dalam PP dan mungkin sekali dalam satu bidang untuk mengatur rincian tersebut dapat dikeluarkan lebih dari satu peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah.
Walaupun diamanatkan batas waktu penetapan NSPK, namun PP 38/2007 juga memuat ayat “escape clause”, yaitu Pasal 10 ayat (2) yaitu daerah dapat langsung menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan sampai dengan ditetapkannya norma, standar, prosedur, dan kriteria.
Selengkapnya...

Penambahan Rincian Urusan

Tulisan ini merupakan sambungan terhadap tulisan ”Urusan Pemerintahan Sisa”. Seiring berjalannya waktu, pengertian urusan sisa ini masih belum memberikan suatu definisi yang tegas atau lugas. Sepanjang forum yang pernah diikuti penulis belum ada contoh riil atas urusan dalam konteks urusan sisa sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007. Narasumber dari Kemendagri dalam beberapa forum pertemuan, memberikan contoh/misal meteor jatuh atau pemanfaatan tenaga angin laut untuk pembangkit listrik. Sedangkan seorang pakar administrasi pemerintahan dari UGM dalam forum yang difasilitasi Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY pada Juli 2008 di UIN Hotel menyatakan sebenarnya secara konsep dan peraturan urusan telah terbagi habis, sehingga urusan sisa semestinya tidak diatur.
Pemerintah Provinsi DIY menyikapi pengaturan urusan sisa dalam PP 38 Tahun 2007 tidaklah begitu merespon untuk mencari wujudnya di daerah, tetapi merespon urusan riil ada dan atau ditangani termasuk di dalamnya kekhasan  yang ada di DIY, namun tidak tercantum atau terwadahi dalam Lampiran PP 38 Tahun 2007 vide Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Provinsi DIY.
Dengan demikian, urusan-urusan sebagamana tercantum dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007 perlu penambahan rincian urusan sesuai dengan situasi dan kondisi riil di DIY. Hal ini dapat digambarkan seperti di bawah ini.


Indikasi adanya urusan yang tidak terakomodir muncul saat penyusunan Raperda Urusan DIY. Realita ternyata ada urusan yang riil ada dan atau ditangani oleh Pemerintah Provinsi DIY (“urusan sisa”–urusan tambahan). Pemerintah Provinsi DIY memandang perlu terdapatnya kejelasan dan kepastian terhadap urusan yang ditangani tersebut. Oleh karena itu, perlu segera dibuat kebijakan daerah sebagai “tambahan urusan” dari urusan pemerintahan sebagaimana telah tertuang dalam Perda DIY No. 7/2007.
Pengertian urusan tambahan di sini adalah urusan-urusan yang diidentifikasi/ diinventarisasi sebagai urusan yang tidak tercantum baik pada sub bidang, sub-sub bidang maupun rincian urusan dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007. Urusan-urusan tersebut perlu segera ditindaklanjuti dalam suatu kebijakan daerah yang melengkapi rincian urusan dalam Perda sebagai urusan tambahan atau tambahan urusan.
Berkaitan dengan hal tersebut Pemerintah Provinsi DIY telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun tentang Penambahan Rincian Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang Menjadi Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditetapkan pada 30 April 2010. Penambahan rincian urusan pemerintahan wajib meliputi pada bidang urusan:
a.  pendidikan;
b.  kesehatan;
c.   lingkungan hidup;
d.  pekerjaan umum;
e.  koperasi dan usaha kecil dan menengah;
f.    kependudukan dan catatan sipil;
g.  pertanahan;
h.  otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
i.    kebudayaan;
j.    kearsipan; dan
k.   perpustakaan.
       Penambahan rincian urusan pemerintahan pilihan meliputi bidang urusan:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. energi dan sumber daya mineral;
d. perindustrian; dan
e. perdagangan.

Keseluruhan terdapat 120 tambahan rincian urusan pada 12 bidang urusan wajib dan 5 bidang urusan pilihan. Sebagaimana tercantum dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007, bahwa rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi DIy menjadi landasan untuk penyelenggaraan otnomi, penataan kelembagaan daerah, penempatan personil, penetapan alokasi anggaran dalam APBD. Adapun penambahan rincian urusan sebagaimana tercantum dalam Pergub DIY No. 13 tahun 2010 sebagaimana tabel di bawah ini
Selengkapnya...

Sabtu, 04 Desember 2010

Urusan Pemerintahan Sisa

Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Urusan pemerintahan sisa diatur dalam Pasal 14 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran PP 38/2007 (dalam rincian sub/sub-sub bidang)  ini menjadi kewenangan masing-masing tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan kriteria pembagian urusan pemerintahan, yaitu kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Urusan pemerintahan sisa yang berskala nasional atau lintas provinsi menjadi kewenangan Pemerintah, yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi, dan yang berskala kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Pemerintahan daerah provinsi atau pemerintahan daerah kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran PP 38/2007 tersebut terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya. Penetapan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya saling gugat antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan sisa. Alur pengusulan hingga penetapan urusan pemerintahan sisa dapat dilihat pada gambar di bawah ini.



Sebenarnya pembagian urusan yang dianut dalam UU 32/2004 yang di-breakdown dengan PP 38/2007 merupakan pembagian habis urusan pemerintahan antar jenjang pemerintahan, sehingga mestinya tidak ada urusan dalam kategori urusan sisa. Namun rupanya dalam berbagai forum, ternyata yang dimaksud merupakan urusan yang dimaksud merupakan urusan yang benar-benar baru atau muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam berbagai forum yang dihadairi narasumber kementerian dalam negeri, biasanya selalu mencontohkan misal adanya delta yang muncul pada aliran sungai, dan jatuhnya meteor. 
Pada tataran riil di daerah sebenarnya dimungkinkan adanya urusan riil yang benar-benar dilakukan di daerah namun tidak terakomodir dalam PP 38/2007 (tentu saja perda urusan di masing-masing pemerintahan daerah). Hal inilah yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi DIY dan  telah dikeluarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2010 tentang Penambahan Rincian Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang Menjadi Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (Bersambung....... Penambahan Rincian Urusan) .wn.
Selengkapnya...

Jumat, 03 Desember 2010

Urusan Pemerintahan (2)

Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 17 dan Pasal 18, istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan”.Konsep urusan pemerintahan menunjukan dua indikator penting, yaitu fungsi atau aktivitas dan asal urusan pemerintahan tersebut.
Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari Presiden dan tidak berasal dari lembaga negara tertinggi dan lembaga tinggi negara lainnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini muncul berbagai urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan lain-lain. Dalam hal ini tidak lazim untuk menyebut urusan konstitusi, legislasi dan yudikasi dalam tataran otonomi daerah.

Dengan demikian, pendefinisian konsep urusan pemerintahan salah satu hal begitu mendasar untuk pengaturan pemerintahan daerah (melalui Undang-undang), agar tidak menimbulkan penafsiran yang menyesatkan. Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi.

Urusan pemerintahan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi. Baik secara teoritik maupun empirik urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom dimanifestasikan dalam pelayanan publik bagi masyarakat setempat dalam semangat welfare state sesuai dengan arahan UUD 1945 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000.
Urusan pemerintahan bersifat dinamik, maka dalam penyebarannya selalu mengalami perubahan dari masa ke masa, sehingga untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika inter-governmental task sharing (pembagian tugas pengurusan urusan pemerintahan) antara level pemerintahan kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat.
Terdapat dua pola besar dalam merumuskan peraturan perundangan yang terkait dengan intergovernmental task sharing, yakni (1) pola general competence (otonomi luas) dan (2) pola ultra vires (otonomi terbatas). Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya menjadi kewenangan Pusat.
Dalam rangka melaksanakan urusan Pusat yang ada di daerah dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai Wakil Pusat di Daerah dalam konteks "Integrated Prefectoral System" Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengkordinir, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi agar Daerah mampu menjalankan otonominya secara optimal. Gubernur mempunyai "Tutelage Power" yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Tidak ada penyerahan “bidang pemerintahan” secara utuh kepada daerah. Lingkup urusan pemerintahan daerah ditentukan oleh Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (5) yang menyebutkan “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Rumusan “otonomi seluas-luasnya” ini dapat diartikan sebagai perwujudan konsep “General Competence” bagi urusan Daerah. Sedangkan urusan Pemerintah Pusat diatur dalam Undang-Undang tersendiri (sektoral) dengan mengacu pada prinsip dan Kriteria pembagian kewenangan/urusan yang pada umumnya diamanatkan dalam undang-undang dasar/konstitusi atau undang-undang pemerintahan daerah.
Di beberapa negara, pembagian yang rinci dihindari melalui pendekatan “urusan konkuren” di mana beberapa tingkatan pemerintahan diberikan hak/tanggungjawab untuk menyelenggarakan salah satu urusan tertentu secara bersama. Hal inilah yang menjadi konsep pengaturan urusan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Selengkapnya...

UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Keistimewaan DIY

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan DIY terdapat dua hal pokok,  yaitu:
1.  Pengakuan keberadaan DIY sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa  tercantum dalam pasal 2 ayat (8) : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
2.  Pengakuan keberadaan Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat  sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya  sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (9): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedangkan dalam pasal 226 ayat (1) yang mengakomodasi kemungkinan adanya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus melalui undang-undang tersendiri (misal UU No. 34 Tahun 1999 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta), namun dalam pasal ini tampak juga mengabaikan keberadaan peraturan yang bersifat tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY jo. Undang-undang Nomor  19 Tahun 1950.

Bila melihat sejarah perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di DIY, kemampuan menyesuaikan dengan perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakatnya merupakan faktor penggerak dan bersifat khusus. Dan kapasitas ini mempunyai titik sentral pada Sultan, di mana hingga sekarang keberadaan Sultan mempunyai keberpaduan otoritas, yaitu sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta dan sekaligus sebagai Gubernur Provinsi DIY.  Monarkhi di Provinsi DIY mampu menjamin adanya perdamaian dan stabilitas sosial yang terpelihara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan adanya akses yang teratur terhadap implementasi kekuasaan/kewenangan dengan memperhatikan kehendak masyarakat/rakyat Yogyakarta.
Apabila dilihat dari sisi pemerintahan, maka dalam pemikiran di sini memandang upaya mempertahankan kedudukan istimewa DIY dilakukan dengan merintis sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus, sebagaimana kekhususan Provinsi DKI Jakarta maupun Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Otonomi Daerah pada lingkup Provinsi juga merupakan satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus, di luar ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan demikian, RUU Keistimewaan DIY memang berupaya untuk meraih suatu kedudukan daerah (DIY) yang khusus atau lebih besar daripada sebagaimana telah diatur mengenai pemerintahan daerah dalam undang-undang tersebut.
Perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga memberikan dampak politis yuridis dengan munculnya berbagai peraturan pemerintahan daerah yang berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY. Perubahan dan perkembangan memang tidak dapat dielakkan namun berkaitan dengan keberadaan keraton/puro layak mempertimbangkan sebagaimana tesis berikut.

“Apabila penataan pemerintahan hanya mengacu pada aspek politis-yuridis tanpa menghormati nilai-nilai tradisi, sejarah dan hak-hak kasultanan yang sudah menjadi identitas bersama, akan melahirkan konflik kepentingan dan menimbulkan ketegangan sosial. Demikian juga sebaliknya apabila mengedepankan nilai-nilai demokrasi akan muncul tantangan keras dari kalangan aristokrat[1]” .

Ikatan historis yang terbentuk di DIY merupakan relasi-relasi sosial yang berperan dalam membentuk karakter masyarakat DIY dapat dikategorikan sebagai hubungan emosional yang berpijak pada sosio spiritual, sosio kultural, sosio politik dan sosio historis[2]. 
Sedangkan Sujamto menyatakan kemungkinan adanya suatu daerah yang bersifat khusus/istimewa dengan mengemukakan makna kata “asal-usul” (sejarah terjadinya) yang dijamin dalam undang-undang dasar. Keberadaan suatu daerah tidak terlepas dari asal-usul eksistensi daerah yang bersangkutan. Dari makna kata “asal-usul” ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yaitu hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon), atas hak yang dimilikinya sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia[3]. Perwujudan autochtoon tersebut dengan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu, hal ini sejalan dengan konteks hak yang bersifat inheren dengan eksistensi suatu pemerintah daerah itu sendiri. Dengan demikian sesuai dengan pernyataan Blair, ”adanya eksistensi suatu daerah sebelum suatu negara terbentuk, maka negara atau pemerintah pusat tidak dapat mengambilnya keseluruhan dari hak-hak penyelenggaraan pemerintahan yang melekat pada suatu daerah tersebut[4].


[1] Heru Wahyukismoyo, “Demokrasi dan Keistimewaan, Proses Perubahan Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana, Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, Yogyakarta, 2003, hal. 28.
[2] Ibid., hal. 33.
[3] Ir. Sujamto, Sujamto, “Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Bina Akasara, Jakarta, 1988, hal.12-13.
[4] George S. Blair, “Government at the Grass-Roots”, Palisades Publishers, California, 1986, p.21.
Selengkapnya...

Tindakan Strategi HB IX dan PA VIII di Awal Kemerdekaan RI

Pada tanggal 17 Agustus 1945 sekitar jam 12.00 berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disiarkan melalui Berita Domei Jakarta, ternyata juga diterima oleh Kantor Berita Domei Yogyakarta yang pada saat itu menempati lantai atas Gedung Perpustakaan Negara di Jalan Malioboro.
Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada tanggal 19 Agustus 1945 mengirim kawat kepada Presiden Soekamo dan Wakil Presiden Moh. Hatta yang pada prinsipnya mengucapkan selamat atas berdirinya Negara Re­publik Indonesia dan selamat atas terpilihnya mereka berdua sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Barangkali atas latar belakang inilah Presiden Sukarno menandatangani Piagam Kedudukan pada tanggal 19 Agustus 1945 yang kemudian diserahkan (pada tanggal 6 September 1945) sebagai respon amanat dwi tunggal  (Sri Sultan dan Pakualam) pada tanggal 5 September 1945.

Pada tanggal 20 Agustus 1945 itu Sri Sultan kembali mengirim telegram dalam kedudukannya sebagai Ketua Badan Kebaktian Rakyat (Hokokai) Yogyakarta ditujukan kepada Presiden Soekamo dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Dalam telegram itu Sultan menegaskan sanggup berdiri di belakang kepemimpinan Soekarno dan Moh. Hatta selaku Presiden dan Wakil Presiden RI. Yogyakarta Hadiningrat berdiri di belakang Republik dan Sri Sultan akan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia. Tindakan dan pernyataan Sri Sultan melalui telegram yang ditujukan kepada Presiden dan Wakil Presiden, baik yang tertanggal 19 maupun 20 Agustus 1945 itu juga diikuti oleh Sri Paku Alam VIII[1]. Sebelumnya, antara Sri Sultan dan Paku Alam sudah seiring sejalan dalam menyambut Proklamasi Kemer­dekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Uraian di atas menunjukkan bahwa di Yogyakarta dalam menyambut berita proklamasi kemerdekaan RI, baik pemimpin maupun rakyatnya sangat kompak. Dapat dilihat bagaimana sikap kedua pemimpin daerah Yogyakarta, yakni Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII secara cepat dan tegas, ti­dak ragu-ragu bertekad untuk berdiri di belakang Republik Indonesia dan mem­bela keutuhan Negara Republik Indonesia yang baru saja lahir. Sri Sultan juga dengan sikap konsisten, penuh semangat mengajak segenap lapisan masyarakat di wilayah Yogyakarta untuk membina dan meningkatkan persatuan dan ke­satuan serta siap berjuang memelihara kemerdekaan Negara Republik Indone­sia.
Beberapa minggu kemudian, di Yogyakarta atas anjuran pemerintah pusat dibentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Yogyakarta. Dengan memperhatikan aspirasi rakyat, maka Sri Sultan dan Sri Paku Alam atas persetujuan komite mengeluarkan amanat tanggal 5 September 1945. Adapun isi pokok amanat tersebut adalah pernyataan sebagai daerah istimewa dan hubungan langsung kepada Presiden RI.
Dalam amanat kedua pemimpin tersebut, dengan tegas dinyatakan baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman merupakan Daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Yang dimaksud Daerah Is­timewa ini adalah seperti yang ditentukan dalam pasal 18 UUD 1945. Dengan dikeluarkannya pernyataan ini, maka rakyat tidak ragu-ragu lagi, baik Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman se­cara tegas memihak kepada Republik Indonesia, tidak mengharap-kan atau memikirkan kembali akan datangnya penjajah Belanda. Keraguan rakyat terjawab, yakni Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman dengan pemimpinnya tidak bersikap me­ngambang, ragu-ragu dan menunggu perkembangan yang akan datang, tetapi lebih tegas dan positif memihak pada Republik Indonesia. Dalam amanat itu juga ditegaskan bahwa segala kekuasaan dalam negeri Kasultanan dan Paku­alaman masih dipegang sendiri oleh Sultan dan Sri Paku Alam. Untuk segala se­suatunya baik Sri Sultan maupun Paku Alam tidak mau diperintah oleh siapapun kecuali oleh Presiden Republik Indonesia. Sri Sultan dan Paku Alam tidak mau diperintah atau dipengaruhi oleh Jepang atau Belanda dan sean­dainya kaum penjajah akan berhubungan dengan Sri Sultan dan Sri Paku Alam tidak dapat langsung, tetapi harus melalui Presiden RI. Kenyataan ini sudah tentu semakin memperkuat kedudukan Republik Indonesia, sebab dengan adanya pernyataan Sultan dan Paku Alam itu dapat dihindarkan praktek-praktek politik memecah belah dari kaum penjajah, Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman tidak dapat lagi diperalat atau diadu domba dengan Republik Indo­nesia yang baru berdiri itu.[2]
Kedua amanat yang disampaikan oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam tersebut merupakan tindakan terobosan yang berani dan sangat strategis bagi per­juangan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Dalam hal ini mengandung nilai kesetiaan dan persatuan untuk menopang tegaknya Negara Republik Indonesia. Bahkan amanat tersebut juga telah berhasil mengobarkan dan membakar se­mangat perjuangan rakyat yang saat itu memang sangat dibutuhkan untuk mem­pertahankan kelangsungan kemerdekaan Indonesia, mengingat kekuatan Jepang boleh dikatakan masih kuat dengan segala persenjataannya. Dengan demikian terjadilah harmonisasi antara kehendak rakyat, baik rakyat Yogyakarta pada khususnya dan rakyat seluruh Indonesia pada umumnya, sesuai dengan sikap para pemimpin, baik pemimpin pusat yakni Presiden Soekarno dan Wakil Presi­den Moh. Hatta maupun sikap Sri Sultan dan Sri Paku Alam di Yogyakarta.
Pernyataan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII itu ternyata mendapat sambutan positif dari pemerintah pusat di Jakarta, terbukti pada keesokan harinya, tanggal 6 September 1945, dua utusan dari pemerintah datang di Yogyakarta untuk menyampaikan "Piagam Kedudukan/Penetapan" mengenai kedudukan Yogyakarta dalam lingkungan RI yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno sendiri. Yang menarik dari Piagam Penetapan ini sebagaimana telah dikemukakan di depan adalah piagam tersebut sudah ditan­datangani oleh Presiden pada tanggal 19 Agustus 1945. Ini menunjukkan bahwa pemerintah pusat sangat respek terhadap tindakan dari Sri Sultan dan Sri Paku Alam.
Pada tanggal 30 Oktober 1945 Sri Sultan dan Sri Paku Alam mengeluarkan amanat yang ditandatangani bersama, di mana selanjutnya amanat-amanat yang dikeluarkan selalu ditandatangani ber­sama-sama. Ini menunjukkan adanya persatuan di antara kedua pemimpin itu. Amanat tersebut, dapat juga dikatakan, di sam­ping tanda persatuan juga merupakan manifestasi dari kehendak Sri Sultan dan Sri Paku Alam untuk menyerahkan kekuasaan itu kepada rakyat, agar jalannya pemerintahan di Yogyakarta dapat selaras dengan dasar negara R.I., UUD 1945. Karena itu dalam amanat tersebut secara tegas dinyatakan bahwa Badan Pe­kerja KNI Daerah Yogyakarta yang dapat dianggap sebagai wakil rakyat karena diserahi tugas untuk menjadi Badan Legistlatif. Hal ini dapat diterjemahkan bah­wa di Yogayakarta tercipta suatu kekuasaan dari rakyat untuk rakyat, tercipta ke­hidupan yang demokratis. Keadaan semacam ini sangat penting sebagai modal bagi daerah dalam rangka menopang kelestarian hidup Negara Kesatuan Re­publik Indonesia.
Dengan amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam tanggal 30 Oktober itu juga menunjukkan keterpaduan dan adanya persatuan antara Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta sebagai Badan Legislatif yang ikut membantu haluan jalan­nya pemerintahan daerah dengan Sri Sultan dan Sri Paku Alam sebagai pen­guasa daerah. Karena itu dalam soal pemerintahan di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari kepemimpinan Sri Sultan , Sri Paku Alam dan Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta. Dengan demikian sejak dikeluarkannya amanat Sri Sultan dan Sri Paku Alam tanggal 30 Oktober, untuk amana- amanat berikutnya selalu ditanda tangani bersama-sama antara Sri Sultan, Sri Paku Alam dan Ketua KNI Daerah Yogyakarta.
Sejak dikeluarkannya amanat tertanggal 30 Oktober 1945 tersebut, dalam prakteknya Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman telah dipersatukan dan menjelma menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Sultan dan Sri Paku Alam telah menjadi satu dalam segala hal dan tindakannya, untuk Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman, mewakili rakyat seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal ini menjadi semakin kokoh setelah dikeluarkannya Makiumat No.18 tahun 1946 yang mengatur tentang Pembentukan DPR-DPR Daerah di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam maklumat itu disebutkan Kasul­tanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman hanya dengan perkataan Daerah Yogyakarta. Dengan demikian, terwujudlah Daerah Yogyakarta yang satu yang terkenal dengan sebutan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebutan "Daerah Is­timewa Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman)" sudah digunakan mulai Ma­klumat Nomor 6 tanggal 12 Mei 1948. Secara tegas sebutan "Daerah Istimewa Yogyakarta" mulai digunakan pada Maklumat Nomor 10 tanggal 2 September 1948 dan seterusnya. Daerah Istimewa Yogyakarta yang terbentuk sesuai de­ngan isi pasal 18 UUD 1945 itu akhirnya dilegalisasi oleh Undang-undang No­mor 3 1950 yang dikeluarkan berdasarkan Undang-undang Pokok R.I. Nomor 22 Tahun 1948.
Peranan historis yang istimewa dari DIY, yang relatif tidak dimiliki oleh daerah-daerah lain sebenarnya juga merupakan keistimewaan tersendiri di samping hak asal-usul yang dimaksudkan dalam UUD 1945. Dalam kaitan inilah yang mendorong dikeluarkannya Keputusan DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4/K/DPRD/1980 tentang Sebutan dan Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta.

[1] Atmakusumah (Peny.), “Tahta Untuk Rakyat”, Gramedia, Jakarta, 1982. hal. 64.
[2] KPH Soedarisman Poerwokoesoemo, “Daerah Istimewa Yogyakarta”, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1984, hal. 17.


Selengkapnya...

Keistimewaan DIY Sebagai Bagian Moralitas

Penetapan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tujuan bersama dan upaya mempertahankannya merupakan bagian dari moralitas Pemerintahan Daerah di DIY dan seluruh elemen masyarakat. Tekad ini telah ditetapkan/disadari sejak lama dan ditegaskan kembali setelah Provinsi DIY secara penuh mengintegrasikan pemerintahannya ke dalam  pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia (pada saat itu berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974).
Kedudukan Istimewa DIY dijamin dalam pasal 18 UUD 1945 (tetap dipertahankan dalam amandemennya) dan dalam sejarah bergabungnya “negara” Kasultanan dan Kadipaten Paku Alaman melalui Amanat Sultan HB IX dan Paku Alam VIII pada tanggal 9 September 1945 menyatakan kedua kerajaan tersebut adalah daerah istimewa dari Negara Republik Indonesia, mempunyai kekuasaan dalam segala urusan penyelenggaraan pemerintahan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Amanat tersebut direspon Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Piagam Kedudukan oleh Presiden.
Kemudian DIY ditetapkan sebagai daerah setingkat Provinsi sebagai bagian dari Republik Indonesia melalui Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950. Namun bila dicermati, UU No. 3 Tahun 1950 hanya sekedar untuk pembentukan/ penetapan DIY sebagai daerah setingkat provinsi, maka sebagai a generous act atau act of faith sebenarnya telah selesai. Namun dinamika yang terjadi, UU Nomor 3 Tahun 1950 tersebut dinilai tidak memadai bila untuk mengatur kedudukan istimewa mengenai substansi yang konkret dan berkembangnya kompleksitas yang terjadi dan sebagai dasar pijakan yang kuat di masa mendatang bagi DIY.
Sebenarnya kekhawatiran terhadap dinamika yang mungkin terjadi atas kedudukan istimewa DIY telah ditetapkan/disadari sejak lama, yakni dengan  dikeluarkannya Keputusan DPRD DIY Nomor 4/K/DPRD/1980, tanggal 18 Juli 1980, tentang Sebutan dan Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam keputusan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dan Daerah Istimewa Yogyakarta dipertahankan sebagai suatu Pemerintahan Daerah Istimewa berdasarkan kenyataan sejarah. Keputusan tersebut menunjukkan kewajiban Pemerintahan Daerah di (Provinsi) DIY untuk bertanggung jawab dalam mempertahankan dan melestarikan Kedudukan Istimewa sebagaimana diamanatkan pada ketetapan Ketiga sebagai berikut.

“Kepada pihak-pihak yang mempunyai tanggung jawab terhadap Daerah Istimewa Yogyakarta terutama yang mempunyai kewenangan di bidang perundang-undangan diharapkan untuk tetap memantapkan bergemanya aspirasi rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Undang-undang yang menjamin kelestarian KEDUDUKAN ISTIMEWA tersebut bagi Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Penegasan kembali Kedudukan Istimewa DIY merupakan kebutuhan perkembangan dan dinamika yang terjadi. Penetapan Kedudukan Istimewa DIY dalam suatu Undang-undang merupakan penegasan dan pemantapan kembali kedudukan tersebut sebagai dasar yang kuat dan mantap dalam penyelenggaran pemerintahan daerah. Lebih jauh dan luas lagi, kedudukan istimewa tersebut mempunyai dampak bagi kemajuan DIY, perwujudan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat DIY serta peluang/kesempatan yang lebih besar bagi Pemerintahan Daerah di (Provinsi) DIY untuk mewujudkannya sebagai penyelenggara substansi dari kedudukan istimewa. Sekali lagi, kedudukan istimewa dan mewujudkannnya mestinya menjadi bagian dari moralitas segenap elemen di Daerah Istimewa Yogyakarta dan dukungan dari Pemerintah (Pusat) tentunya.
Selengkapnya...

Urusan Pemerintahan

Urusan pemerintahan merupakan elemen dasar dalam entitas pemerintahan daerah.  Urusan Pemerintahan merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan ke Daerah berdasarkan pengaturan dalam Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Pasal 11 ayat (1) Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 ada tiga kriteria yang dipakai dalam membagi urusan pemerintahan yaitu: eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Berdasarkan kriteria tersebut akan tersusun pembagian kewenangan yang jelas antar tingkatan pemerintahan (Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) dari setiap bidang atau sektor pemerintahan. Dalam koridor otonomi luas setidaknya terdapat 31 sektor pemerintahan yang merupakan urusan pemerintahan yang di-desentralisasikan ke Daerah baik yang terkait dengan urusan yang bersifat wajib untuk menyelenggarakan pelayanan dasar maupun urusan yang bersifat  pilihan untuk menyelenggarakan pengembangan sektor unggulan.

Istilah urusan pemerintahan ini mengacu amandemen UUD 1945 Pasal 17 dan Pasal 18, istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan”. Dengan demikian telah terjadi perubahan di mana dalam UU 22/1999 dipakai istilah kewenangan, dengan UU 32/2004 menggunakan istilah urusan pemerintahan.
Adapun urusan-urusan pemerintahan yang di desentralisasikan ke daerah adalah sebagai berikut
1.        pendidikan
2.        kesehatan
3.        pekerjaan umum
4.        perumahan
5.        penataan ruang
6.        perencanaan pembangunan
7.        perhubungan
8.        lingkungan hidup
9.        pertanahan
10.   kependudukan dan catatan sipil
11.   pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
12.   keluarga berencana dan keluarga sejahtera
13.   sosial
14.   ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
15.   koperasi dan usaha kecil dan menengah
16.   penanaman modal
17.   kebudayaan dan pariwisata
18.   kepemudaan dan olah raga
19.   kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
20.   otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian
21.   pemberdayaan masyarakat dan desa
22.   statistik
23.   kearsipan
24.   perpustakaan
25.   komunikasi dan informatika
26.   pertanian dan ketahanan pangan
27.    kehutanan
28.    energi dan sumber daya mineral
29.    kelautan dan perikanan
30.    perdagangan dan
31.    perindustrian.
Ketiga puluh satu urusan tersebut terbagi atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib terkait dengan pelayanan dasar yang dijamin oleh konstitusi UUD 1945, ataupun yang menjadi komitmen pemerintah dalam konvensi internasional untuk mencapainya seperti Millenium Development Goals (MDGs) dan menjadi kewajiban dari pemerintah daerah untuk menyediakannya. Urusan wajib tersebut adalah:
1.      pendidikan
2.      kesehatan
3.      lingkungan hidup
4.      pekerjaan umum
5.      penataan ruang
6.      perencanaan pembangunan
7.      perumahan
8.      kepemudaan dan olahraga
9.      penanaman modal
10.  koperasi dan usaha kecil dan menengah
11.  kependudukan dan catatan sipil
12.  ketenagakerjaan
13.  ketahanan pangan
14.  pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
15.  keluarga berencana dan keluarga sejahtera
16.  perhubungan
17.  komunikasi dan informatika
18.  pertanahan
19.  kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
20.  otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,  perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian
21.  pemberdayaan masyarakat dan desa
22.  sosial
23.  kebudayaan
24.  statistik
25.  kearsipan
26.  perpustakaan.
Sedangkan urusan pilihan adalah urusan yang terkait dengan potensi unggulan sesuai dengan kekhasan daerah yang bersangkutan. Adapun urusan tersebut adalah sebagai berikut :
  1. kelautan dan perikanan
  2. pertanian
  3. kehutanan;
  4. energi dan sumber daya mineral
  5. pariwisata
  6. industri
  7. perdagangan
  8. ketransmigrasian.
Pada dasarnya urusan pemerintahan tersebut merupakan urusan yang menjadi kewenangan presiden yang kemudian didesentraslisasikan atau diserahkan kepada Pemerintahan Daerah (Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Selengkapnya...