Selasa, 14 Desember 2010

NSPK Bukan Merupakan Hal yang Baru

Benarkah NSPK sebelumnya tidak ada? NSPK sebelumnya sudah ada Pada masa dahulu ada istilah juklak dan juknis, hal itu merupakan wujud dari NSPK yang bisa dituangkan dalam peraturan menteri, keputusan menteri, keputusan dirjen atau bahkan suratmenteri. Bila merunut PP 38/2007, maka NSPK yang merupakan pedoman pelaksanaan dari urusan pemerintahan  disusun dan dituangkan dalam peraturan menteri. Istilah NSPK ini hanya dimaksudkan untuk menyeragamkan atau memudahkan istilah pada waktu penyusunan PP 38/2007 atau peraturan pelaksanaan itu sendiri, sehingga tidak membingungkan daerah.
Keberadaan NSPK ini telah ada sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari amanat pengaturan dalam PP Nomor 25 Tahun 2000, yaitu dalam pasal-pasalnya dalam tiap bidang kewenangan (dulu istilahnya kewenangan, setelah Amandemen UUD 1945 disebut urusan pemerintahan) selalu ada kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Provinsi untuk menetapkan pedoman dan standar. Hal ini bisa dilihat Pasal berikut.
Pasal 6
Penjabaran teknis mengenai kewenangan Pemerintah yang meliputi kebijakan termasuk mekanisme ketatalaksanaan, standar dan kriteria dilakukan oleh pimpinan Departemen/Lembaga Non Departemen yang bersangkutan setelah dikonsultasikan dengan Menteri.
Pasal 9
(1) Terhadap kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah ini yang belum ada ketentuan mengenai kebijakan, standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman dari Pemerintah, dalam pelaksanaannya Pemerintah Daerah menunggu diterbitkannya ketentuan tersebut.
Dalam penjelasan Pasal 9 disebutkan bahwa Peraturan Daerah tentang pelaksanaan salah satu kewenangan diterbitkan setelah dikeluarkannya kebijakan seperti standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman dari Pemerintah. Dalam PP 25/2000 dapat diidentifikasi dalam kewenangannya Pemerintah (pusat) berwenangan untuk menetapkan standar/norma pedoman/kebijaksanaan sebanyak 130 kewenangan, sedangkan provinsi sebanyak 29 kewenangan.

Kesimpulan atas argumentasi yuridis di atas, jelas dan tegas bahwa istilah norma, standar, prosedur dan kriteria atau disingkat dengan NSPK bukanlah hal baru dan telah ada sebelum PP 38 Tahun 2007. Oleh karena itu, dengan mendasarkan argumentasi di atas, maka urusan-urusan terkait dengan NSPK (baca: peraturan pelaksanaan/teknis) dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga), yaitu urusan-urusan yang telah mempunyai NSPK dan sesuai PP Nomor 38/2007, sudah ada NSPK namun tidak sesuai sehingga perlu penyesuaian/revisi, dan urusan yang belum mempunyai NSPK. 
Demikian pula, NSPK bukanlah dalam bentuk satu buku berjudul NSPK, namun dalam satu bidang urusan dimungkinkan akan terdapat lebih dari satu bahkan beberapa peraturan menteri sebagai pedoman pelaksanaan urusan. Oleh karena itu, masa waktu 2 tahun yang diamanatkan PP 28/2007 mungkin tidak akan terbit keseluruhan peraturan menteri tentang pelaksanaan/teknis pelaksanaan urusan (atau NSPK) tersebut. Dan hal ini terbukti.
Beberapa peraturan menteri yang telah ada dan merupakan pedoman pelaksanaan urusan atau yang merupakan NSPK sebagaimana diamanatkan dalam PP 38/2007, misal Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerja Sama Daerah, Peraturan Menteri Perdagangan No. 37/M-DAG/PER/9/2007 Tentang Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan, Keputusan   Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/SK/X/2008  tentang Pedoman Teknis Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kesehatan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota Peraturan dari Lembaga Pemerintah Non kementerian, misal Peraturan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Nomor : 154/HK-010/B5/2009 Tentang Pedoman Pengelolaan Informasi Data Mikro Kependudukan dan Keluarga.
Selengkapnya...

Senin, 06 Desember 2010

Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Urusan Pemerintahan


Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria atau lebih dikenal dengan singkatan NSPK menjadi hal yang sering disebut setelah pemberlakuaan PP 38/2007. Norma adalah aturan atau ketentuan yang dipakai sebagai tatanan untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Standar adalah acuan yang dipakai sebagai patokan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Prosedur adalah metode atau tata cara untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kriteria adalah ukuran yang dipergunakan menjadi dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
 Keberadaan NSPK ini sebagaimana diatur dalam Pasal 9 dan 11 sebagai berikut.

Pasal 9
(1)       Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan wajib dan urusan pilihan.
Pasal 11
Pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dalam melaksanakan urusan pemerintahan wajib dan pilihan berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1).
Jadi NSPK ini hukumnya wajib bagi Departemen/LPND (sekarang telah diubah istilahnya menjadi kementerian berdasarkan UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara  dan Perpres 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara) sebab dijadikan pedoman bagi daerah. Karena sifatnya pedoman (wajib), maka pertama semestinya pedoman tersebut benar-benar menjadi pegangan daerah dalam memperjelas dan mempertegas urusan-urusan yang menjadi kewenangan daerah (provinsi maupun kabupaten/kota). Kedua, pedoman (NSPK) tersebut harus dapat segera ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 10 ayat (1) diberikan jangka waktu 2 tahun sejak diterbitkannya PP 38/2007 (9 Juli 2007). Ketiga, pedoman (NSPK) tersebut merupakan sarana pemberdayaan dari Pemerintah kepada pemerintahan daerah menjadi sangat penting untuk meningkatkan kapasitas daerah agar mampu memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai prasyarat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
NSPK yang dituangkan dalam peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian tersebut dapat berisi pengaturan terhadap satu atau beberapa rincian urusan sebagaimana diatur dalam PP dan mungkin sekali dalam satu bidang untuk mengatur rincian tersebut dapat dikeluarkan lebih dari satu peraturan menteri/kepala lembaga pemerintah.
Walaupun diamanatkan batas waktu penetapan NSPK, namun PP 38/2007 juga memuat ayat “escape clause”, yaitu Pasal 10 ayat (2) yaitu daerah dapat langsung menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan sampai dengan ditetapkannya norma, standar, prosedur, dan kriteria.
Selengkapnya...

Penambahan Rincian Urusan

Tulisan ini merupakan sambungan terhadap tulisan ”Urusan Pemerintahan Sisa”. Seiring berjalannya waktu, pengertian urusan sisa ini masih belum memberikan suatu definisi yang tegas atau lugas. Sepanjang forum yang pernah diikuti penulis belum ada contoh riil atas urusan dalam konteks urusan sisa sebagaimana diatur dalam PP No. 38/2007. Narasumber dari Kemendagri dalam beberapa forum pertemuan, memberikan contoh/misal meteor jatuh atau pemanfaatan tenaga angin laut untuk pembangkit listrik. Sedangkan seorang pakar administrasi pemerintahan dari UGM dalam forum yang difasilitasi Kantor Pemberdayaan Perempuan Provinsi DIY pada Juli 2008 di UIN Hotel menyatakan sebenarnya secara konsep dan peraturan urusan telah terbagi habis, sehingga urusan sisa semestinya tidak diatur.
Pemerintah Provinsi DIY menyikapi pengaturan urusan sisa dalam PP 38 Tahun 2007 tidaklah begitu merespon untuk mencari wujudnya di daerah, tetapi merespon urusan riil ada dan atau ditangani termasuk di dalamnya kekhasan  yang ada di DIY, namun tidak tercantum atau terwadahi dalam Lampiran PP 38 Tahun 2007 vide Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007 tentang Urusan Pemerintahan yang Menjadi Kewenangan Provinsi DIY.
Dengan demikian, urusan-urusan sebagamana tercantum dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007 perlu penambahan rincian urusan sesuai dengan situasi dan kondisi riil di DIY. Hal ini dapat digambarkan seperti di bawah ini.


Indikasi adanya urusan yang tidak terakomodir muncul saat penyusunan Raperda Urusan DIY. Realita ternyata ada urusan yang riil ada dan atau ditangani oleh Pemerintah Provinsi DIY (“urusan sisa”–urusan tambahan). Pemerintah Provinsi DIY memandang perlu terdapatnya kejelasan dan kepastian terhadap urusan yang ditangani tersebut. Oleh karena itu, perlu segera dibuat kebijakan daerah sebagai “tambahan urusan” dari urusan pemerintahan sebagaimana telah tertuang dalam Perda DIY No. 7/2007.
Pengertian urusan tambahan di sini adalah urusan-urusan yang diidentifikasi/ diinventarisasi sebagai urusan yang tidak tercantum baik pada sub bidang, sub-sub bidang maupun rincian urusan dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007. Urusan-urusan tersebut perlu segera ditindaklanjuti dalam suatu kebijakan daerah yang melengkapi rincian urusan dalam Perda sebagai urusan tambahan atau tambahan urusan.
Berkaitan dengan hal tersebut Pemerintah Provinsi DIY telah menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 13 Tahun tentang Penambahan Rincian Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang Menjadi Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditetapkan pada 30 April 2010. Penambahan rincian urusan pemerintahan wajib meliputi pada bidang urusan:
a.  pendidikan;
b.  kesehatan;
c.   lingkungan hidup;
d.  pekerjaan umum;
e.  koperasi dan usaha kecil dan menengah;
f.    kependudukan dan catatan sipil;
g.  pertanahan;
h.  otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian, dan persandian;
i.    kebudayaan;
j.    kearsipan; dan
k.   perpustakaan.
       Penambahan rincian urusan pemerintahan pilihan meliputi bidang urusan:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. energi dan sumber daya mineral;
d. perindustrian; dan
e. perdagangan.

Keseluruhan terdapat 120 tambahan rincian urusan pada 12 bidang urusan wajib dan 5 bidang urusan pilihan. Sebagaimana tercantum dalam Perda DIY Nomor 7 Tahun 2007, bahwa rincian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Provinsi DIy menjadi landasan untuk penyelenggaraan otnomi, penataan kelembagaan daerah, penempatan personil, penetapan alokasi anggaran dalam APBD. Adapun penambahan rincian urusan sebagaimana tercantum dalam Pergub DIY No. 13 tahun 2010 sebagaimana tabel di bawah ini
Selengkapnya...

Sabtu, 04 Desember 2010

Urusan Pemerintahan Sisa

Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa.
Urusan pemerintahan sisa diatur dalam Pasal 14 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran PP 38/2007 (dalam rincian sub/sub-sub bidang)  ini menjadi kewenangan masing-masing tingkatan dan/atau susunan pemerintahan yang penentuannya menggunakan kriteria pembagian urusan pemerintahan, yaitu kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Urusan pemerintahan sisa yang berskala nasional atau lintas provinsi menjadi kewenangan Pemerintah, yang berskala provinsi atau lintas kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi, dan yang berskala kabupaten/kota menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Pemerintahan daerah provinsi atau pemerintahan daerah kabupaten/kota yang akan menyelenggarakan urusan pemerintahan yang tidak tercantum dalam lampiran PP 38/2007 tersebut terlebih dahulu mengusulkan kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri untuk mendapat penetapannya. Penetapan dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya saling gugat antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Menteri/kepala lembaga pemerintah non departemen menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria untuk pelaksanaan urusan sisa. Alur pengusulan hingga penetapan urusan pemerintahan sisa dapat dilihat pada gambar di bawah ini.



Sebenarnya pembagian urusan yang dianut dalam UU 32/2004 yang di-breakdown dengan PP 38/2007 merupakan pembagian habis urusan pemerintahan antar jenjang pemerintahan, sehingga mestinya tidak ada urusan dalam kategori urusan sisa. Namun rupanya dalam berbagai forum, ternyata yang dimaksud merupakan urusan yang dimaksud merupakan urusan yang benar-benar baru atau muncul dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam berbagai forum yang dihadairi narasumber kementerian dalam negeri, biasanya selalu mencontohkan misal adanya delta yang muncul pada aliran sungai, dan jatuhnya meteor. 
Pada tataran riil di daerah sebenarnya dimungkinkan adanya urusan riil yang benar-benar dilakukan di daerah namun tidak terakomodir dalam PP 38/2007 (tentu saja perda urusan di masing-masing pemerintahan daerah). Hal inilah yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi DIY dan  telah dikeluarkan Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2010 tentang Penambahan Rincian Urusan Pemerintahan Wajib dan Pilihan yang Menjadi Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (Bersambung....... Penambahan Rincian Urusan) .wn.
Selengkapnya...

Jumat, 03 Desember 2010

Urusan Pemerintahan (2)

Dalam amandemen UUD 1945 Pasal 17 dan Pasal 18, istilah baku yang dipakai adalah “urusan pemerintahan” bukan “kewenangan”.Konsep urusan pemerintahan menunjukan dua indikator penting, yaitu fungsi atau aktivitas dan asal urusan pemerintahan tersebut.
Urusan pemerintahan yang didistribusikan hanya berasal dari Presiden dan tidak berasal dari lembaga negara tertinggi dan lembaga tinggi negara lainnya. Oleh karena itu, dalam konteks ini muncul berbagai urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum dan lain-lain. Dalam hal ini tidak lazim untuk menyebut urusan konstitusi, legislasi dan yudikasi dalam tataran otonomi daerah.

Dengan demikian, pendefinisian konsep urusan pemerintahan salah satu hal begitu mendasar untuk pengaturan pemerintahan daerah (melalui Undang-undang), agar tidak menimbulkan penafsiran yang menyesatkan. Dalam organisasi negara bangsa selalu terdapat sejumlah urusan pemerintahan yang sepenuhnya diselenggarakan secara sentralisasi beserta penghalusannya dekonsentrasi. Tetapi tidak pernah terdapat suatu urusan pemerintahan apapun yang diselenggarakan sepenuhnya secara desentralisasi. Urusan pemerintahan yang menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara lazimnya diselenggarakan secara sentralisasi dan dekonsentrasi.

Urusan pemerintahan yang mengandung dan menyangkut kepentingan masyarakat setempat (lokalitas) diselenggarakan secara desentralisasi. Baik secara teoritik maupun empirik urusan pemerintahan yang menjadi kompetensi daerah otonom dimanifestasikan dalam pelayanan publik bagi masyarakat setempat dalam semangat welfare state sesuai dengan arahan UUD 1945 dan TAP MPR No. IV/MPR/2000.
Urusan pemerintahan bersifat dinamik, maka dalam penyebarannya selalu mengalami perubahan dari masa ke masa, sehingga untuk menjamin kepastian, perubahan-perubahan tersebut perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu selalu ada dinamika inter-governmental task sharing (pembagian tugas pengurusan urusan pemerintahan) antara level pemerintahan kabupaten/kota, provinsi dan pemerintah pusat.
Terdapat dua pola besar dalam merumuskan peraturan perundangan yang terkait dengan intergovernmental task sharing, yakni (1) pola general competence (otonomi luas) dan (2) pola ultra vires (otonomi terbatas). Dalam pola otonomi luas dirumuskan bahwa urusan-urusan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat bersifat limitatif dan sisanya (urusan residu) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Sedangkan dalam prinsip Ultra Vires adalah urusan-urusan Daerah yang ditentukan secara limitatif dan sisanya menjadi kewenangan Pusat.
Dalam rangka melaksanakan urusan Pusat yang ada di daerah dilaksanakan oleh Gubernur sebagai wakil Pusat di Daerah. Sebagai Wakil Pusat di Daerah dalam konteks "Integrated Prefectoral System" Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengkordinir, mengawasi, melakukan supervisi dan memfasilitasi agar Daerah mampu menjalankan otonominya secara optimal. Gubernur mempunyai "Tutelage Power" yaitu menjalankan kewenangan Pusat untuk membatalkan kebijakan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum ataupun peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Tidak ada penyerahan “bidang pemerintahan” secara utuh kepada daerah. Lingkup urusan pemerintahan daerah ditentukan oleh Perubahan Kedua UUD 1945 Pasal 18 ayat (5) yang menyebutkan “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Rumusan “otonomi seluas-luasnya” ini dapat diartikan sebagai perwujudan konsep “General Competence” bagi urusan Daerah. Sedangkan urusan Pemerintah Pusat diatur dalam Undang-Undang tersendiri (sektoral) dengan mengacu pada prinsip dan Kriteria pembagian kewenangan/urusan yang pada umumnya diamanatkan dalam undang-undang dasar/konstitusi atau undang-undang pemerintahan daerah.
Di beberapa negara, pembagian yang rinci dihindari melalui pendekatan “urusan konkuren” di mana beberapa tingkatan pemerintahan diberikan hak/tanggungjawab untuk menyelenggarakan salah satu urusan tertentu secara bersama. Hal inilah yang menjadi konsep pengaturan urusan sebagaimana diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Selengkapnya...