Jumat, 03 Desember 2010

UU Nomor 32 Tahun 2004 dan Keistimewaan DIY

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam kaitannya dengan DIY terdapat dua hal pokok,  yaitu:
1.  Pengakuan keberadaan DIY sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa  tercantum dalam pasal 2 ayat (8) : “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”.
2.  Pengakuan keberadaan Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat  sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya  sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (9): “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Sedangkan dalam pasal 226 ayat (1) yang mengakomodasi kemungkinan adanya suatu penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat khusus melalui undang-undang tersendiri (misal UU No. 34 Tahun 1999 tentang Daerah Khusus Ibukota Jakarta), namun dalam pasal ini tampak juga mengabaikan keberadaan peraturan yang bersifat tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY jo. Undang-undang Nomor  19 Tahun 1950.

Bila melihat sejarah perjalanan penyelenggaraan pemerintahan di DIY, kemampuan menyesuaikan dengan perubahan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakatnya merupakan faktor penggerak dan bersifat khusus. Dan kapasitas ini mempunyai titik sentral pada Sultan, di mana hingga sekarang keberadaan Sultan mempunyai keberpaduan otoritas, yaitu sebagai Raja Kasultanan Yogyakarta dan sekaligus sebagai Gubernur Provinsi DIY.  Monarkhi di Provinsi DIY mampu menjamin adanya perdamaian dan stabilitas sosial yang terpelihara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan adanya akses yang teratur terhadap implementasi kekuasaan/kewenangan dengan memperhatikan kehendak masyarakat/rakyat Yogyakarta.
Apabila dilihat dari sisi pemerintahan, maka dalam pemikiran di sini memandang upaya mempertahankan kedudukan istimewa DIY dilakukan dengan merintis sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus, sebagaimana kekhususan Provinsi DKI Jakarta maupun Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam. Otonomi Daerah pada lingkup Provinsi juga merupakan satu bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus, di luar ketentuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan demikian, RUU Keistimewaan DIY memang berupaya untuk meraih suatu kedudukan daerah (DIY) yang khusus atau lebih besar daripada sebagaimana telah diatur mengenai pemerintahan daerah dalam undang-undang tersebut.
Perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga memberikan dampak politis yuridis dengan munculnya berbagai peraturan pemerintahan daerah yang berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY. Perubahan dan perkembangan memang tidak dapat dielakkan namun berkaitan dengan keberadaan keraton/puro layak mempertimbangkan sebagaimana tesis berikut.

“Apabila penataan pemerintahan hanya mengacu pada aspek politis-yuridis tanpa menghormati nilai-nilai tradisi, sejarah dan hak-hak kasultanan yang sudah menjadi identitas bersama, akan melahirkan konflik kepentingan dan menimbulkan ketegangan sosial. Demikian juga sebaliknya apabila mengedepankan nilai-nilai demokrasi akan muncul tantangan keras dari kalangan aristokrat[1]” .

Ikatan historis yang terbentuk di DIY merupakan relasi-relasi sosial yang berperan dalam membentuk karakter masyarakat DIY dapat dikategorikan sebagai hubungan emosional yang berpijak pada sosio spiritual, sosio kultural, sosio politik dan sosio historis[2]. 
Sedangkan Sujamto menyatakan kemungkinan adanya suatu daerah yang bersifat khusus/istimewa dengan mengemukakan makna kata “asal-usul” (sejarah terjadinya) yang dijamin dalam undang-undang dasar. Keberadaan suatu daerah tidak terlepas dari asal-usul eksistensi daerah yang bersangkutan. Dari makna kata “asal-usul” ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yaitu hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon), atas hak yang dimilikinya sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia[3]. Perwujudan autochtoon tersebut dengan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu, hal ini sejalan dengan konteks hak yang bersifat inheren dengan eksistensi suatu pemerintah daerah itu sendiri. Dengan demikian sesuai dengan pernyataan Blair, ”adanya eksistensi suatu daerah sebelum suatu negara terbentuk, maka negara atau pemerintah pusat tidak dapat mengambilnya keseluruhan dari hak-hak penyelenggaraan pemerintahan yang melekat pada suatu daerah tersebut[4].


[1] Heru Wahyukismoyo, “Demokrasi dan Keistimewaan, Proses Perubahan Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana, Konsentrasi Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM, Yogyakarta, 2003, hal. 28.
[2] Ibid., hal. 33.
[3] Ir. Sujamto, Sujamto, “Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, Bina Akasara, Jakarta, 1988, hal.12-13.
[4] George S. Blair, “Government at the Grass-Roots”, Palisades Publishers, California, 1986, p.21.

1 komentar: